Buta Paling Buruk adalah Buta Politik
"Buta Paling Buruk adalah Buta
Politik"
(Gambar: Apatisme)[1]
POLITIK. “Buta paling buruk adalah
buta politik. Dia yang buta politik adalah dia yang tidak mendengar, tidak
berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu
bahwa biaya hidup, harga-harga komoditas, obat, tepung, makanan, tergantung
pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan
membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari
kebodohan politiknya akan lahir pelacuran, anak terlantar, politisi borok serta
rusaknya perusahaan nasional dan multinasional,” demikian kata Bertolt Brecht,
seorang penyair dan dramawan Jerman.[2]
Sejumlah anak muda, perempuan,
bahkan juga orang tua, yang justru sebagian adalah intelektual dan terpelajar
justru tak segan mengatakan, “Jangan bicara politik. Kamu masih kecil.
Politik itu kotor. Jangan ikut di dalamnya. Politik itu menghalalkan segala
cara. Lebih baik kamu hindari!, dan begini begitu, ini itu, sebagainya,” Itu ungkapan yang kerap terdengar dalam
berbagai percakapan, malah kadang muncul dalam dialog-dialog kelompok terpelajar
di sekolah. Bahkan pula di kampus ada ungkapan sinis yang lumrah, “Mahasiswa
jangan berpolitik (praktis)!.”
Ironis, memang. Karena sejatinya
politik memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama begitu dalam
pengertian klasik Aristoteles seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru
dari Alexander Agung.[3]
Dan di dalam Islam berpolitik itu adalah ibadah.[4]
Lalu mengapa sesuatu yang memiliki
tujuan sangat baik mesti kita hindari? Di satu sisi banyak yang menuntut
kemajuan pembangunan dan tercapainya kesejahteran rakyat, sementara di saat
yang sama jalan mencapai tujuan bersama itu dihindari, dijauhi
sejauh-jauhnya? Tentu ada sesuatu yang salah kenapa hal itu bisa terjadi.
Mungkin ada yang salah dalam proses transfer pendidikan politik, dalam lembaga
formal maupun informal. Mungkin ada yang salah dalam realitas politik yang
dipertunjukkan dalam pemilu, pilkada atau pilpres. Mungkin ada banyak kesalahan atau kekeliruan dalam berbagai hal.[5]
Sejatinya, politik merupakan
sebuah hal yang sangat dermawan. Dengannya (politik), negara terbelakang bisa
menjadi negara berkembang, bahkan maju. Masyarakat yang tidak memiliki
pekerjaan akan bisa mendapatkan lapangan pekerjaan yang banyak. Tentunya hal
tersebut bisa terjadi jikalau kita bisa memanfaatkan politik untuk hal-hal produktif.[6]
(NB-Jafriandi).
*catatan
ini diperoleh dari berbagai sumber (kualitatif & kuantitatif)
[1] Rio Maesa, Buta Paling
Buruk adalah Buta Politik, di akses dari http://oir-nikonian.blogspot.co.id/2012/10/buta-terburuk-adalah-buta-politik.html,
pada tanggal 13 Januari 2018
[2]
Adjie Surya Kelana, Sosialisasi Politik untuk Generasi Millenial, di
akses dari https://www.padangekspres.co.id/read/detail/96581/Sosialisasi-Politik-untuk-Generasi-Millenial,
pada tanggal 13 Januari 2018
[3]
Wikipedia, Politik, di akses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Politik,
pada tanggal 13 Januari 2018
[4] Hasanuddin Yusuf Adan, Berpolitik Itu Ibadah, di akses dari http://aceh.tribunnews.com/2015/04/18/berpolitik-itu-ibadah,
pada tanggal 13 Januari 2018
[5] Kadek Cita Ardana
Yudi, Buta Paling Buruk adalah Buta Politik, di akses dari http://tatkala.co/2016/06/12/buta-paling-buruk-adalah-buta-politik/,
pada tanggal 13 Januari 2018