ETOS KERJA
ETOS KERJA
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi
tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam
memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “bekerjalah untuk duniamu
seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati besok pagi.” (HR. Al Baihaqi).
Amalan di dunia ini bukan semata-mata
untuk kepentingan manusia secara individual saja, tetapi untuk kemaslahatan
seluruh manusia dan ketertiban kehidupan manusia. Tidaklah pantas bagi manusia
hidup di dunia ini sekedar untuk mengambil dan tidak pernah memberi sesuatu
hasil dari jerih payahnya. Kerja dan pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan
manusia guna mewujudkan kemakmuran hidupnya.
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus
merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan
prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
tetapi sekaligus meninggikan martabatnya sebagai Abdullah (hamba Allah) yang
mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri kenikmatan
dari Allah Rabbul 'alamin. Di antara manusia ada yang enggan bekerja dan
berusaha dengan alasan bertawakal dan pasrah kepada allah SWT. Menunggu rezeki
dari langit. Mereka salah memahami ajaran Islam, pasrah kepada Allah tidak
berarti meninggalkan amal dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh
rezeki. Dengan demikian sangat besar tuntutan untuk bekerja, tidak ada alasan
lagi bahwa kaum muslimin berada dalam kemunduran, pengangguran, kemiskinan dan
keterbelakangan. Terlihatnya realita kehidupan umat seperti kemunduran,
pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan ternyata melahirkan sinyalemen
bahwa keadaan umat yang demikian dikarenakan umat muslim tersebut menderita
kelemahan etos kerja.
Masalah etos kerja menjadi salah satu
bahan pembicaran yang ramai di masyarakat. Pembicaraan itu tidak jarang dalam
suasana khawatir bahwa jika sebagai bangsa atau umat muslim tidak dapat
menumbuhkan etos kerja yang baik, maka kemungkinan besar umat Islam akan
tetinggal oleh umat non-Muslim yang telah maju dan makmur. Dengan demikian
perlu adanya kesadaran yang mendalam dalam pribadi muslim untuk menumbuhkan
semangat bekerja. Dengan cara pandang seperti ini, sadarlah bahwa setiap muslim
tidaklah akan bekerja hanya sekedar bekerja, asal mendapat gaji, dapat surat
pengangkatan atau sekedar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebagai
pengangguran karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat
tauhid dan tanggungjawab uluhiyah merupakan
salah satu ciri khas karakkter pribadi Muslim.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah “bagaimanalah
etos kerja dalam perspektif Islam?
B. PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
ETOS KERJA
a) Pengertia Etos
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap,
kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak
saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang
berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
“Begitulah penciptaan Allah SWT, yang membuat dengan
(itqon) kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui apa
yang kalian kerjakan.” (QS. An-Naml : 88).
Berkaitan dengan ayat tersebut, Imam Ibnu
Jarir Ath-Thobbari menukil pendapat Ibnu Abbas ketika menafsirkan
ayat di atas, yaitu Allah SWT membaguskan segala ciptaan-Nya serta
mengokohkannya. Jadi, jelas sekali dalam Itqon terdapat proses
pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat, dan sempurna . Inilah pekerjaan yang
professional, perfect, dan berdedikasi tinggi. Karena
pentingnya etos kerja (itqon) dalam setiap amal pekerjaan,
Rosulallah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Alloh mencintai seseorang jika ia
beramal dengan suatu amalan atau pekerjaan maka ia kerjakan dengan itqon.” (HR. Baihaqi).
b) Pengertian
Kerja
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia susunan
M.K. Abdullah, S.Pd mengemukakan bahwa kerja adalah “perbuatan melakukan
sesuatu, Kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil”.
KH. Toto Tasmara dalam bukunya Membudayakan Etos Kerja Islami mendefinisikan
“bekerja adalah aktivitas yang dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya
tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang
optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT”.
Allah swtmenciptakan alam ini untuk
manusia, dan diantara tugas manusia adalah untuk menjadi khalifah.
“Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi. (QS.
Al Baqarah : 30).
Khalifah mengandung arti : pemimpin, mengolah, pemanfaat
dan pelestari alam, fungsi manusia untuk mengolah dan melestarikan alam inilah
yang mengharuskan untuk bekerja keras, sebab sebagian potensi alam baru dapat
dimanfaatkan secara optimal bila telah diolah oleh manusia (dikerjakan).
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak
membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang
kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah
kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan
di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Didalam Buku yang berjudulMembudayakan Etos Kerja
Islami karangan K.H. Toto Kasmara disebutkan Di dalam al-Qur’an banyak
kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
a) Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di
antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
b) Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak
17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
c) Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan)
kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55
d) Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam
surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
e) Kita temukan sebanyak 330 kali kata
a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan
amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65,
Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
f) Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun,
‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan
al-Ahzab: 31.
g) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat
yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil
ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah
berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan
bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman
seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya,” (Al-Kahfi: 110).
2.
ETOS
KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Perbedaan antara etos kerja dengan etos
kerja islami terletak pada Niatnya, Etos kerja berupa semangat dan totalitas
sikap dalam bekerja Sedangkan Etos kerja islami merupakan semangat dan
totalitas sikap dalam bekerja dan dilandasi dengan niatan lillahita’ala
sehingga pekerjaannya tersebut selain mendatangkan materi juga menjadi amal.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Bersabda, “Dari
Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal
( Pekerjaan)itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai
niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu
Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka
hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Di Dalam Al-Qur’an Suroh An-najm ayat 39
juga dijelaskan, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada
niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan
sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima
merasa tersakiti hatinya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian,” (QS. Al-Baqarah
: 264)
Ayat ini dimulai dengan panggilan mesra
Ilahi, Wahai orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan, jangan
membatalkan, yakni ganjaran sedekah kamu. Kata ganjaran tidak disebutkan dalam
ayat ini untuk mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil
dari sedekah itu yang hilang, tetapi juga sedekah yang memberikan modal pun
hilang tidak berbekas, keduanya hilang lenyap. Allah bermaksud
melipatgandakannya namun kamu sendiri yang melakukan sesuatu yang
mengakibatkannya hilang lenyap, karena kamu menyebut-nyebutnya dan mengganggu
perasaan si penerima. Sungguh tercela sifat mereka (Tafsir Al-Mishbah, vol
1,h.571-572)
Dua kelakuan buruk di atas dipersamakan
dengan dua hal buruk yaitu pamrih dan tidak beriman. Orang yang pamrih
melakukan sesuatu dengan tujuan mendapat pujian manusia tidak wajar mendapat
ganjaran dari Allah. Yang tampak oleh manusia bahwa dia bersedekah karena
Allah, padahal dia bermaksud meraih pujian orang melalui sedekahnya, serta
tujuan-tujuan duniawi lainnya, dengan memutuskan perhatiannya dari interaksi
dengan Allah dan dari tujuan meraih keridhaan-Nya (Tafsir Ibnu Katsir,h.440).
Kelakukannya itu menunjukkan ia tidak
percaya kepada Allah tidak juga hari Kemudian. Bersedekah dengan pamrih (riya’)
diibaratkan seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat. Seandainya dia bukan batu licin seandainya batu retak,
berlubang, atau berpori-pori, bisa jadi tanah yang tersisa, jadi ada sisa-sisa
yang tidak keluar akibat hujan, tetapi dia batu licin yang halus, licin, dan
dengan sedikit air saja sudah dapat membersihkannya apalagi kalau hujan lebat,
maka ia menjadi bersih, tidak meninggalkan sedikit tanah atau debu pun. Dan
dengan demikian, mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka
usahakan, yakni tidak mendapat sesuatu apapun dari sedekah mereka itu, dan
memang Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir, di antaranya
mereka yang mengkufuri nikmatNya dan tidak mensyukuri-Nya. (Tafsir
Al-Mishbah,vol 1,h.572-573).
Bekerja keras adalah merupakan kewajiban
yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada
Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perintah Allah dalam Al-quran
yang menyuruh untuk bekerja, seperti Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Apabila Telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10).
Pada ayat ini dijelaskan, yaitu apabila telah
ditunaikan shalat, maka bersegeralah mencari karunia Allah, kembali pada
kegiatan masing-masing bertebaran dimuka bumi untuk mencari rizki yang halal
dan baik.
Diakhir ayat, Allah SWT menganjurkan bahwa
dalam mencari rizki supaya banyak berdzikir kepada-Nya agar memperoleh
keberuntungan. Dzikir artinya ingat atau menyebut. Dzikrullah adalah bagian
terpenting dalam kehidupan umat Islam, baik dalam kaitannya dengan masalah
aqidah, ubudiyah dan akhlak. Baik dalam hubungan dengan Allah maupun hubungan
sesama manusia, Rasulullah adalah orag yang paling banyak berdzikir, selalu
ingat kepada Allah baik dalam situasi dan kondisi apapun.
Dalam sebuah hadist disebutkan :
“Dari Aisyah ra mengatakan, adalah Rasulullah SAW
berdzikir kepada Allah sepajang hayatnya” (HR. Muslim)
Setiap muslim dapat melihat bagaimana
Allah menjelsakan format ibadah pada-Nya. Selain dituntut untuk shalat kemudian
berusaha mencari nafkah. Tidak berpangku tangan dan bermalasan menunggu
datangnya rezeki, seumpama dengan meminta sedekah.
Rosul bersabda, “dari Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang
yang selalu meminta-minta pada orang-orang, akan datang pada hari kiamat dengan
tidak ada segumpal daging pun di wajahnya." (Muttafaq Alaihi).
Etos kerja dalam perspektif Islam juga
dapat diartikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat
mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan
kemanusiaanya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal soleh. Sehingga
bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah
seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba
Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat
dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap
pengabdian.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS.
Adz-Dzaariyat: 56
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku ( QS. Adz-Dzaariyat: 56).
Menurut Prof. Dr. Muhammad Quraish
Shihab dalam tafsirnya, Al-Misbah, penafsiran ayat di atas adalah
sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat
yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka
melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah
kepada-Ku.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain[1586], (QS.Al-Insyiroh :7)
[1586] Maksudnya:
sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai
berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai
mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang
mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah. (QS.94:7).
3.
KARAKTERISTIK
ETOS KERJA DALAM ISLAM
a) Iman
dan Taqwa
Yang dinamakan iman adalah meyakini di
dalam hati, menyatakannya dengan lisan, dan malaksanakannya dengan perbuatan.[1]
Kata taqwa (at-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang dikaitkan
dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali
Pertama, takut kepada Allah, merupakan awal dari
ke’arifan.
Kedua, menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati
dari segala kejahatan.
Ketiga, ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[2]
Dalam Al-qur’an banyak memuat ayat yang
manganjurkan taqwa dalam setiap perkara dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang
keimanan selalu diikuti dengan ayat-ayat kerja, demikian pula sebaliknya. Ayat
seperti “orang-orang yang beriman” diikuti dengan ayat “dan mereka yang beramal
sholeh”. Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada
panggilan seperti “Wahai orang-orang yang beriman”, maka biasanya diikuti oleh
ayat yang berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan, di antaranya,
“keluarkanlah sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan kepada kamu”,
“janganlah kamu ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan)
dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah”.[3]
Keterkaitan ayat-ayat tersebut memberikan
pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama etos kerja, apapun bentuk dan
jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan kerja dengan iman
berarti mengucilkan Islam dari aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan
pada wilayah kemaslahatannya sendiri, bukan dalam kaitannya perkembangan
individu, kepatuhan dengan Allah, serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa
kerja mempunyai etos yang harus diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja
merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para
pekerja dapat meningkatkan tujuan akhir dari pekerjaan yang mereka lakukan,
dalam arti bukan sekedar mencari upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja
adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat.
Prinsip inilah yang terutama dipegang teguh oleh umat Islam, sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
b) Niat
(komitmen)
Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang
etos kerja barang kali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna
sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal, bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat
yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (tujuan mencari ridha Allah)
maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah
(hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat
tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut.[4]
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh
seseorang sesuai dengan dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya.
Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang
dikaitkan dengan sistem nilai (value system) yang dianutnya. Oleh karena
itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi
seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan sunggguh-sungguh.
Sebuah pekerjaan pekerjaan yang dilakukan
tanpa tujuan luhur yang terpusat pada usaha mencapai ridho Allah berdasarkan
iman kepadanya itu adalah bagaikan fartamorgana. Yakni, tidak mempunyai
nilai-nilai atau makna yang suptansial apa-apa.
4.
PRINSIP
ETOS KERJA DALAM ISLAM
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul
Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip
itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri
bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan).
Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari
halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram
lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah
halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status
hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena
ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman.
Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari
luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban
hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi
benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan
kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang
mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di
atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi
atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal
halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang
merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal
pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang
meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan
ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat
diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang
cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan
tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri,
keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu
Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat
dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika
berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz
yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk
keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti
inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga
(ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk
kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois.
Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan
telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar.
“Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan
RasulNya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya.” (Qs
Al-Hadid: 7).
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang
yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai
pendusta-pendusta agama.
“tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama?(1)Itulah orang yang menghardik anak yatim(2)dan tidak menganjurkan
memberi Makan orang miskin(3).” (Qs Al-Ma’un: 1-3).
Itu karena tidak dikenal istilah
kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah
titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan
pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat
prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat
(shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah
pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu
surga.
C. PENUTUP
Jadi, kesimpulannya Etos kerja islami merupakan semangat dan
totalitas sikap dalam bekerja dan dilandasi dengan niatan lillahita’ala
sehingga pekerjaannya tersebut selain mendatangkan materi juga menjadi amal. Komponen
Dasar Etos Kerja Dalam Islam ;
1. Iman dan Taqwa
2. Niat (komitmen)
Adapaun prinsip etos kerja dalam Islam;
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan).
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban
hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah).
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan
ala iyalihi).