Egoisme

EGOISME

(Sumber: Kompas.com)

PERNAHKAH mengenal seseorang yang selalu mengutamakan dirinya sendiri? Selalu mendahulukan dirinya sekaligus mengabaikan orang lain? Atau tidak mau mengalah kalau kenyamanan dirinya merasa terganggu?
Pernahkah menegur seseorang yang merokok di ruang ber-AC, tetapi malah ia lebih galak? "Rokok ini rokok gua, yang beli gua, urusan penyakit risiko gua, kenapa lu jadi repot?."[1] Sebagai percontohan pada kronologis yang lain, coba perhatikan, ketika keluar dari Masjid, yang lebih dahulu kita lakukan adalah mencari-cari sandal sendiri di antara tumpukkan sekian banyak sandal. Bukan membantu orang lain menemukan sandalnya. Atau ketika berfoto dengan teman-teman, yang pertama kita cari adalah tampilan gambar diri kita sendiri, malah kalau posenya kurang bagus meski yang lain bagus, kita akan minta diulangi dan foto lain di singkirkan. Semua ini adalah wajar dan manusiawi. Namun, akan menjadi tidak wajar jikalau kita membuat pihak lain menjadi terzholimi. Misalkan kita mencari-cari sandal sendiri sambil melempar-lemparkan sandal orang lain.[2] Dan barangkali masih banyak terdapat pada sesuatu yang lain sebagai contoh.
Rasa-rasanya berhadapan dengan orang semacam ini, ujungnya kira-kira (pasti) menyebalkan. Susah dikasih tahu. Susah diberi pengertian. Tidak mau tahu kondisi orang lain, yang diketahui hanya dirinya sendiri.
Lama-lama orang malas bergaul dengan orang seperti ini. Lebih banyak mudarat ketimbang produktifnya. Bahkan, bukan tidak mungkin, bisa timbul prasangka (prejudice) orang lain pada orang semacam ini.
Alex Sobur, dalam buku Psikologi Umum (2016), menulis bahwa prasangka selalu mengandung semacam kecenderungan dasar yang kurang menguntungkan orang atau kelompok tertentu.
Dengan demikian, prasangka yang buruk akan mengacaukan pola komunikasi yang baik, yang semula biasa-biasa saja akhirnya timbul perasaan tidak senang dan malas berkomunikasi dengan orang macam itu. Dalam ilmu komunikasi, hal ini disebut gagal komunikasi atau komunikasi tidak efektif.

Cerita tersebut di atas disebut egoisme. Egoisme artinya sikap seseorang yang mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Egoisme berasal dari kata ego, yang artinya persepsi individu tentang dirinya sendiri yang berpengaruh pada tindakannya. Jadi, ego merupakan pusat kesadaran, proses alami individu, yang merupakan gabungan antara pemikiran, gagasan, perasaan, memori, dan persepsi sensoris (Raymond Corsini, Psikoterapi Dewasa Ini, 2003).[3]
Dikutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat.[4] Jadi, kalau seseorang selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri disebut orang egois.
Ciri-ciri orang egois yang paling kentara, yaitu mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kepentingan orang lain, sulit menerima saran sepanjang tidak menguntungkan dirinya, tidak kooperatif, mau menang sendiri, rasa toleransi kecil, kurang memiliki empati, perhitungan, kurang pengertian, keras kepala.
Dalam psikologi perkembangan, terbentuknya kepribadian seseorang pada umur 0-5 tahun. Pada usia ini anak memiliki karakter egosentris.
Menurut psikolog Michele Borba (penulis buku-buku parenting) asal Amerika, orang yang egois biasanya tidak mau menjadi bagian dari sekitarnya. Ia selalu berusaha agar segala sesuatu sesuai keinginannya tanpa memedulikan perasaan orang lain. Jadi, penyebab egoisme pada awalnya bisa jadi terlalu dimanja, perhatian yang diberikan sangat berlebihan.

Jenis-jenis egoisme
Ada dua jenis egoisme, yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis yaitu individu secara psikologis selalu mengambil tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Namun, makna egoisme psikologis ini masih bercabang antara egoisme yang mendahulukan kepentingan diri sendiri dan egoisme yang berguna untuk diri sendiri.
Adapun egoisme etis adalah adanya keharusan pada individu untuk mengambil tindakan yang paling menguntungkan diri sendiri. Kepentingan diri sendiri harus terjamin, tapi bukan berarti kepentingan orang lain terabaikan.

Struktur kejiwaan
Menurut pendiri aliran psikoanalisis, Sigmund Freud  (1856-1939), manusia memiliki tiga struktur kepribadian, yaitu id (es)ego (ich), dan superego (uber ich).
Id adalah keinginan manusia seperti makan minum dan seks. Sebuah keinginan yang mengarah pada pemenuhan keinginan daging. Keinginan ini memang selalu ada selama manusia hidup dalam tubuh yang fana ini. Id menuntut kepuasan.
Ego adalah diri kita sendiri ini yang lebih mengarah kepada pikiran, perasaan, kemauan, yang seluruhnya berputar pada diri sendiri setiap saat. Faktor ego yang memutuskan apakah mau mengikuti keinginan id atau menolaknya.
Lain halnya dengan superego, yang sifatnya sebagai penjaga moral. Selalu mengingatkan ego apabila akan memenuhi keinginan id. Jadi, superego bertentangan dengan id. Id selalu ingin dipuaskan, sedangkan superego selalu memberi warning. Jadi, seseorang yang lebih mementingkan id dalam hidupnya, maka orang ini dinilai egois. Raymond Corsini dalam buku Psikologi Dewasa Ini (2003) mengatakan bahwa ego itu terlalu lemah terhadap id. Id menggebu, sedangkan ego mudah tergiring, menggiring pada gairah buta (blind passion) dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan rasional dengan konsekuensi yang begitu besar.
Sebagai penutup, perlu diketahui tentang Anna Freud (1895-1982), putri Sigmund Freud. Anna sangat tertarik pada teori psikoanalisis Sigmund Freud, tetapi dari segi dinamika kejiwaan manusia, bukan pada struktur kejiwaan manusia. Oleh karena itu, Anna sangat fokus pada masalah ego, maka lahirlah mazhab psikoanalisis yang disebut psikologis ego.
Menurut Anna, ego adalah dasar pengamatan psikolog. Dengan demikian, psikolog dapat mengamati id dan superego dan alam bawah sadar secara mendalam.[5]




REFERENSI:
[1] Irwan Suhanda, Egoisme, di akses dari http://lifestyle.kompas.com/read/2017/11/16/190100920/egoisme, pada tanggal 30 Desember 2017, pukul 15.40 WIB
[2] http://mozaik.inilah.com/read/detail/2410439/menggerakkan-dengan-hati
[3]Irwan Suhanda, Egoisme, 30 Desember 2017, pukul 15.40 WIB
[4] Wikipedia.org, Egoisme, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Egoisme, pada tanggal 30 Desember 2017, pukul 16.00 WIB
[5]Irwan Suhanda, Egoisme, Op.cit.,

Postingan populer dari blog ini

TIM PENGELOLA KEGIATAN (TPK)

SERVANT LEADERSHIP

Kisah Inspiratif, Orang-orang Buta dan Seekor Gajah