PANDANGAN HIDUP ORANG MINANG
Nilai - Nilai Dasar Adat Minangkabau
Untuk mengetahui dan
memahami nilai-nilai dasar adat Minangkabau berbagai cara dapat dilakukan,
antara lain dengan mempelajari tentang masyarakat dan lingkungan atau dengan
mempelajari perilaku mereka. Terlebih dahulu mereka mempelajari kata-kata
(kato), dari sini akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-norma yang
menjadi penuntun orang Minangkabau berfikir dan bertingkah laku. Dengan kata
lain perkataan pola berfikir dan prilaku orang Minangkabau, ditentukan
oleh kato sebagai nilai dasar norma-norma yang menjadi
pegangan hidup mereka, katakanlah falsafah hidup, yang menyangkut makna hidup,
makna waktu, makna alam bagi kehidupan, makna kerja bagi kehidupan dan makna
individu dalam hubungan kemasyarakatan.
Bertitik tolak dari
pemikiran di atas, kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan terungkap dalam
prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenaran, pepatah, petitih, pituah,
mamangan dan lain-lain ekspedisi simbolik tentang diri mereka dalam hubungan
dengan alam, dengan lingkungan sosial budaya, merupakan media yang dapat
dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dominan yang dianut
mereka. Dikatakan manusia tahan kato (kias) binatang tahan
palu (cambuk).
Sesuai dengan tahap
perkembangan masyarakat Minangkabau, sewaktu merintis menyusun adat, mereka
mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber analogi bagi nilai-nilai
dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka mengungkapkan hal ini
dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran alam takambang
jadi guru (alam terkembang jadi guru). Hukum alam menjadi sumber
inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi
norma-norma yang menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.
Disamping belajar dari
alam, pengalaman hidup yang dapat dijadikan pula pegangan, bahwa manusia harus
belajar dari pengalamannya. Belajar dari alam dan pengalaman merupakan
orientasi berfikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini dengan
tegas dicontohkan mereka dalam ungkapan adat yang mendasarkan pandangan kepada
alam patah tumbuah hilang baganti (patah tumbuh hilang
berganti).
Selanjutnay dikatakan
pula maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang(mengambil
contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang menang). Mereka
menafsirkan dan melihat yang ada dalam alam ini mempunyai tujuan dan makna
hidup, kerja, waktu dan kehidupan sesamanya. Semuanya itu diungkapkan dalam
bentuk nilai-nilai yang dominan yang menjadi pegangan dan pedoman bagi
masyarakat Minangkabau. Sekarang akan kita lihat nilai-nilai dasar yang
fundamental dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Pandangan Terhadap Hidup
Tujuan hidup bagi orang
Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau
mengatakan, bahwa hiduik bajaso, mati bapusako (hidup berjasa,
mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi
terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan
adalah :
Gajah mati meninggalkan
gadiang
Harimau mati
maninggakan balang
Manusia mati
meninggalkan jaso
(gajah
mati meninggalkan gading,
harimau
mati meninggalkan belang,
manusia
mati meninggalkan jasa).
Dengan pengertian,
bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak
memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah
mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan,
mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.
Mempusakakan bukan
maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh
karena itu semasa hidup bukan hanya kuat menunjuk mengajari anak kemenakan
sesuai dengan norma adat yang berlaku. Dengan demikian diharapkan kesinambungan
dari adat yang diwarisi sebagai pusaka yang diturunkan secara turun temurun.
Ungkapan adat juga mengatakan pulai batinkek nalek meninggalkan rueh jo
buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako(pulai bertingkat
baik meningalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggalkan nama dan
pusaka).
Struktur sosial
Minangkabau memberi tanggungjawab yang berat kepada orang laki-laki
Minangkabau, sehingga mendorong lebih lanjut untuk berusaha memenuhi tuntutan
agar berjasa kepada kerabat dan kampung halamannya.
Kedatangan agama Islam yang
mengemukakan manusia itu makhluk Tuhan dan dijadikan khalifah dimuka bumi untuk
menjadi lebih dahulu memberikan makna dan nilai yang tinggi terhadap hidup.
Dengan kata lain agama telah memperkokoh pandangan terhadap hidup yang telah
dipunyai oleh adat sebelumnya. Nilai hidup yang lebih baik dan tinggi ini telah
menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi,
dinamis dan kreatif.
Pandangan Terhadap Kerja
Sejalan dengan makna
hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya,
kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan.
Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak
kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan hilang rano dek penyakik,
hilang bangso tak barameh (hilang warna karena penyakit, hilang
bangsa karena tidak beremas). Artinya, harga diri seseorang akan hilang karena
kemiskinan oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.
Juga dikemukakan oleh
adat ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang (emas
pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala sesuatu
dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau
keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain
membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat
diutamakan. Orang Minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang
diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :
Kayu hutan bukan
andaleh,
Elok dibuek ka lamari
tahan hujan barani bapaneh,
Baitu urang mancari
rasaki.
(kayu hutan bukan
andalas,
Elok dibuat untuk
lemari, tahan hujan berani berpanas,
Begitu orang mencari
rezeki).
Dari etos kerja ini,
anak-anak muda yang punya tanggung jawab di kampung disuruh merantau. Mereka
pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada
kerabat di kampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan
orang Minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi yang ulet.
Menghadapi masa tua
harus mempersiapkan diri ketika muda, jangan disia-siakan waktu untuk bekerja.
Dan berusaha agar di masa tua tidak kecewa dalam hidup. Peribahasanya
mengatakan: waktu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan (waktu ada
jangan dimakan, sudah habis baru dimakan). Arti dari peribahasa ini adalah
ketika ada tenaga dan masih muda bekerjalah dan kumpulkanlah harta sebanyak
mungkin, tetapi jangan lupa menyisakan untuk masa tua. Bila tiada maksudnya
tiada tenaga lagi atau sudah tua, maka baru hasil simpanan dan usaha semasa
muda dinikmati.
Pandangan Terhadap Waktu
Dalam kehidupan sehari-hari
sering kali kita mendengar ungkapan “waktu adalah uang atau waktu sangat
berharga.” Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu time
is money.
Sebenarnya bagi orang
Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan sudah merupakan
pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya
dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk
selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagamana dikatakan duduak
marawik ranjau, tagak maninjau jarah (duduk merawit ranjau, berdiri
meninjau jarah). Ungkapan ini mengumpamakan kepada seorang prajurit, bila dia
duduk diisi waktunya dengan meraut ranjau yang akan dipasang menghadapi musuh,
bila berdiri hendaklah meninjau jarah (meninjau jauh ke daerah yang luas
sehingga bisa melihat musuh yang tiba-tiba dapat saja menyerang).
Tidak disukai oleh
adat, bagi orang yang tidak menentu dan selalu dalam keraguan, hal ini
dikatakan dalam ungkapannya duduak sarupo urang kamanjua, tagak sarupo
urang kamambali (duduk seperti orang yang akan menjual, berdiri seperti
orang yang akan membeli).
Waktu yang terbuang
percuma saja juga tidak diingini, sebagaimana dikatakan siang ba habih
hari, malam ba habih minyak (siang berhabis hari, malam berhabis
minyak). Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang
merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau.
Maliek contoh ka nan sudah (melihat contoh kepada masa lalu) merupakan
keharusan. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha
memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi
untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang.
Mambangkik batang
tarandam (membangkit batang terendam), merupakan refleksi dari masa lalu
sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan
adat menfatwakan bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalum
hujan (berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan).
Kehati-hatian untuk menghadapi masa depan juga adat menginginkan sebagaimana
yang dikatakan :
Hari paneh kok tak
balinduang
Hari hujan kok tak
bataduah
Hari kalam kok tak
basuluah
Jalan langang kok tak
bakawan.
(hari panas jika tidak
berlindung,
hari hujan jika tidak
berteduh,
hari kelam jika tidak
bersuluh,
jalan lengang jika
tidak berteman).
Perspektif masa depan
yang tinggi bagi orang Minangkabau juga terlihat dengan kuatnya mereka
memelihara sistem pemilikan komunal mereka. Dengan cara memelihara tanah
komunal, warih di jawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong)
mengungkapkan nilai dasar yang menekankan identitas Minangkabau.
Hakekat Pandangan Terhadap Alam
Orang Minangkabau
menjadikan alam sebagai guru, sebagaimana yang dikatakan dalam mamangan adatnya
sebagai berikut:
Panakiek pisau sirawik
Ambiak galah batang
lintabuang
Salodang ambiak kanyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi
guru.
(panakik pisau seraut, ambil
galah batang lintabung, silodang jadikan nyiru, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam
terkembang jadikan guru).
Alam Minangkabau yang
indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan
fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, petatah, petitih,
ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas dari pada alam.
Alam mempunyai
kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat
sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru, seperti dikatakan,
bahwa adat itu adalah:
Sakali aia gadang
Salaki tapian barubah
Namun aia kailia juo
sakali gadang baganti
Sakali peraturan
barubah
Namun adat baitu juo.
(sekali air besar,
sekali tepian berubah, namun air ke hilir juga, sekali besar berganti, sekali
peraturan berubah, namun adat begitu juga).
Menurut pandangan hidup
orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat tetap ada yang bisa berubah.
Yang tetap itu biasa dikatakan nan indak lapuak dek hujan, nan indak
lakan di paneh, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang karena
panas).
Unsur-unsur itulah yang
dalam klasifikasi adat termasuk adat nan sabana adat (adat
yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong adat nan teradat, adat nan
diadatkan dan adat istiadat yang dapat dirubah.
Yang dimaksud dengan
adat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas
sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam,
atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu adat Minangkabau
falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat
Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada. Pandangan Terhadap Sesama
Dalam hidup
bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau
kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan duduak samo
randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi).
Dalam kegiatan yang
menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol.
Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil permufakatan
merupakan otoritas yang tertinggi. Hal ini dinyatakan oleh orang Minangkabau
dengan ungkapan :
Kamanakan barajo ka
mamak
Mamak barajo ka
panghulu
Panghulu barajo ka
mufakat
Mufakat barajo ka alua
Alua barajo ka patuik
jo mungkin
Patuik jo mungkin
barajo kanan bana
Bana badiri sandirinyo
(itulah nan manjadi rajo)
(kemenakan baraja
kepada mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat
beraja kepada alur, alur beraja kepada patut dan mungkin, patut dan mungkin
beraja kepada yang benar, yang benar itulah yang menjadi raja).
Kekuasaan yang
tertinggi (otoritas) menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana
(kebenaran). Kebenaran tersebut harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing
oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sangat diperlukan oleh orang
Minangkabau dan sangat menilai tinggii manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai
yang dibawa oleh islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan islam
melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang
bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu,
lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.
Orang Minangkabau
mengakui hirarki, yaitu ada rakyat dan ada pemimpin. Namun pemimpin dalam
konsepsi mereka adalah orang yang dipilih dalam kerabat mereka, yaitu yang
terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka
yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal
ini mereka mempersonifikasikan pemimpin dalam pribadi dan kualifikasi seorang
penghulu (syarat-syarat penghulu). Dengan demikian pada hakekatnya sumber
kekuasaan penghulu itu adalah rakyatnya (kemenakannya).
Dalam ungkapan adat
dikatakan tumbuahnyo ditanam, gadangnyo dilambuak, (tumbuhnya
ditanam, besarnya dilambuk). Karena sumber kekuasaan dari bawah, maka
diingatkan ingek-ingek urang di ateh, nan dibawah kok maimpok (ingat-ingat
orang di atas, yang dibawah kalau menimpa). Dengan arti kata karena pemimpinm
itu dipilih oleh anak kemenakan, maka yang diangkat jadi pemimpin iitu jangan
sampai tidak memperhatikan kemenakannya, sebab kalau tidak demikian kepemimpinannya
bisa dicabut kembali.
Menurut adat pandangan
terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun
seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun
berbeda namun saling membutuhkan dan saling dibutuhkan sehingga terdapat
kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan " nan buto pahambuih lasuang, nan
binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang, (yang buta penghembus
lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa
beban, yang bingung akan disuruh-suruh, yang cerdik lawan berunding). Hanya
saja fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai
manusia setiap orang itu hendaklah dihagai karena semuanya saling isi mengisi.
Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat
menggariskan nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek
disayangi (yang tua dihormati, sama besar bawa berkawan dan yang kecil
disayangi). Ketika agama islam masuk konsep pandangan terhadap sesama ini dipertegas
lagi.
Nilai egaliter yang
dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga
diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial
matrilineal yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai
kemasyarakat nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil
menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara
harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk
selalu bersifat dinamis.
Kesimpulannya, kita
orang Minang harus menjunjung tinggi nilai-nilai adat minangkabau yaitu:
Adat Basandi Syara' -
Syara' Basandi Kitabullah
Syara' Mangato Adat
Mamakai
Alam Takambang Jadikan
Guru
Tidak hanya adat-adat Minangkabau
saja, kita juga harus menghormati nilai-nilai adat yang ada disetiap daerah di
seluruh penjuru nusantara.[1]